rokok elektrik alias vaping atau nge-vape sudah menjadi tren tersendiri di kalangan masyarakat, terutama Millenials dan Gen Z. Salah satu alasannya adalah karena rokok elektrik dianggap sebagai alternatif lebih sehat ketimbang rokok konvensional. Nyatanya, faktanya tidak begitu.
Dilansir BANDAR JD, penggunaan rokok elektrik, terlebih dalam jangka panjang, dapat menimbulkan risiko masalah kesehatan pada sistem pernapasan, jantung, mulut (gigi dan gusi), serta menyebabkan disfungsi sel, kerusakan DNA akibat stres oksidatif, hingga kanker.
Di samping kemungkinan negatif secara fisik, ada pula efek buruknya pada kesehatan mental, yaitu peningkatan risiko depresi. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Simak penjelasannya berikut ini.
1. Pengguna vape berisiko mengalami depresi
Sebuah kajian dalam jurnal medis “Annals of Internal Medicine” tahun 2016 memperkirakan 10,8 juta orang di Amerika Serikat (AS) menggunakan rokok elektrik. Sebanyak 2,8 juta atau 9,2 persennya berusia 18-24 tahun.
Pada penelitian yang lebih baru, yaitu dalam jurnal medis “JAMA Network Open” tahun 2019, ditemukan hubungan signifikan antara vaping dan depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Olufunmilayo H. Obisesan dan rekan melibatkan sekitar 800 ribu partisipan di AS untuk diwawancara tentang penggunaan rokok elektrik dan riwayat depresi.
Saat peneliti menganalisis data, mereka menemukan fakta bahwa pengguna vape cenderung melaporkan riwayat depresi lebih besar. Selain itu, semakin sering seseorang menggunakan vape, maka semakin besar pula kemungkinan mereka mengalami depresi.
Merokok menggunakan vape telah dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan gangguan depresi mayor dan juga telah terbukti sangat prediktif terhadap perilaku bunuh diri, terlebih lagi di antara individu dengan riwayat depresi
2. Peneliti percaya bahwa nikotin mungkin menjadi penyebab efek depresi
paparan nikotin dalam jangka panjang dapat mengganggu dopamin, meningkatkan sensitivitas stres, dan mengganggu mekanisme penanganan untuk membantu melindungi diri dari depresi.
Vape mengandung kontaminan lain seperti jejak logam yang dapat mempengaruhi sistem saraf dan dapat berkontribusi dalam mengembangkan depresi.
Selain itu, vape juga mengandung senyawa organik dan nitrosamin tertentu yang mudah menguap dan biasa ditemukan pada produk tembakau tradisional.
Zat-zat tersebut diketahui dapat mengganggu metabolisme beberapa obat psikiatri (mengurangi kadarnya dalam darah). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa vaping bertindak dan berpotensi mengganggu pengobatan depresi.
Meski demikian belum ada jawaban pasti apakah vaping bertanggung jawab penuh terhadap terjadinya depresi. Bisa jadi seseorang yang nge-vape telah mengalami depresi sebelumnya, atau karena vaping mereka mengembangkan depresi.
Baca Juga: 5 Fakta Popcorn Lung, Penyakit Akibat Sering Pakai Vape
3. Pelajar berusia 18-25 tahun menunjukkan hubungan signifikan dari vaping dan depresi
Para peneliti mengungkap sekitar 34 persen pengguna vape melaporkan pernah mengalami depresi klinis dibandingkan mereka yang tidak pernah merokok sekitar 15 persen. Sementara itu, sekitar 27 persen mantan pengguna vape melaporkan kecenderungan depresi klinis dibandingkan dengan yang tidak, yakni sekitar 15 persen.
Para peneliti memiliki fokus pada kelompok pelajar atau mahasiswa kisaran usia 18-25 tahun. Hal tersebut dikarenakan kaum muda lebih cenderung suka bereksperimen dengan produk baru, termasuk vaping.
Dr. Mariell Jessup dari American Heart Association’s (AHA) Tobacco Center of Regulatory Science mengemukakan bahwa kelompok mahasiswa pengguna vape rentan mengalami depresi dalam hidup mereka, tetapi juga ada jaminan jeda yang mungkin diakibatkan oleh kecanduan nikotin
4. Penggunaan vape di kalangan masyarakat menuai sorotan dari tenaga medis
Meskipun penyebab depresi tidak dibahas dalam penelitian yang melibatkan penggunaan vape, tetapi seorang asisten profesor di University of Nebraska Medical Center, AS, Dr. Kenneth A. Zoucha, MD, khawatir bahwa aktivitas tersebut bisa menyebabkan kecanduan.
Lonjakan pengguna vape di kalangan remaja sekolah hingga dewasa muda mengingatkannya akan pengalaman klinis dalam menangani pasiennya dengan depresi dan penggunaan nikotin melalui vape.
Harapannya, melalui studi dalam “JAMA Network Open”, akan ada studi longitudinal lebih lanjut khususnya yang mengkaji penyebab depresi dan penggunaan vape, sehingga masyarakat bisa lebih bertindak selektif.
5. Apakah pengguna vape mengalami kesulitan berhenti merokok?
Apalagi yang pernah mengalaminya, pasti paham kalau berhenti merokok (konvensional) itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan, kalau berhenti, ada kemungkinan mengalami depresi.
Lantas apakah hal tersebut berlaku juga dengan pengguna vape? Menurut Jed Magen, DO, MS, dari Michigan State University, AS, kemungkinan pemakai vape juga mengalaminya. Mengingat vape memiliki kandungan nikotin, maka pemakainya akan mudah ketagihan dan mengalami kesulitan untuk berhenti.
Jen menyarankan, kalau kamu mau stop nge-vape, mulailah dengan mengunyah permen karet nikotin, konsumsi obat seperti bupropion atau varenicline (harus dipantau oleh dokter), bergabung dalam support group untuk mendapat dukungan sosial, serta konsultasi dengan dokter untuk meminimalkan gejala depresi.
Rokok elektrik awalnya disebut-sebut sebagai alternatif rokok konvensional. Namun, dari tahun ke tahun, bahayanya kian terlihat.
perawatan tembakau bersertifikat sekaligus direktur Center for Tobacco Control at Northwell Health, AS, menjelaskan bahwa orang yang depresi karena mencoba untuk berhenti merokok kemungkinan butuh perawatan khusus.
Pilihan hidup sehat merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki kualitas diri baik dari segi kesehatan fisik maupun mental. Kalau kamu ingin keluar dari jerat rokok, baik rokok konvensional maupun elektrik, bulatkan tekad dan yakinlah bahwa kamu akan berhasil. Libatkan orang-orang di sekitarmu untuk membantumu beralih ke pola hidup yang lebih sehat.
Baca Juga: Benarkah Vape Bisa Mengganggu Kesuburan Wanita? Ini 7 Fakta Medisnya